IZIN DALAM SUATU URUSAN BERSAMA, SEPELEKAH?
Dalam urusan sehari-hari, kita pasti akan banyak menemukan urusan yang kita urus bersama orang lain, yang dari urusan-urusan tersebut akan terbangun komunikasi, pertemuan, janji, dan kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Di antara contoh sederhana yang dapat kita ambil adalah dalam sebuah organisasi atau kepanitiaan.
Dalam organisasi atau kepanitiaan, biasanya akan dilaksanakan rapat-rapat baik rutin maupun tidak. Di dalam rapat tersebut akan dibahas hal-hal yang perlu dikerjakan atau masalah-masalah yang perlu diselesaikan bersama. Rapat tersebut biasanya juga dipimpin oleh pimpinan organisasi, kepala bidang, ketua panitia, maupun koordinator suatu urusan bersama. Dan tidak jarang anggota dari organisasi atau kepanitiaan tersebut juga memiliki urusan lain di tempat yang lain, dikarenakan zaman sekarang ini yang memang sangat dinamis dan banyak sekali kesempatan untuk berkegiatan maupun berurusan dalam segala hal. Untuk menjalankan berbagai urusan, amanah, atau tugas, seseorang sangat perlu untuk membagi waktu dan prioritas, namun tidak jarang kita temui seseorang dengan banyaknya urusan, menyebabkan urusan lain bersama orang lain menjadi terbengkalai. Bagaimana Islam dalam memandang pekerjaan manusia dalam suatu urusan bersama ini?
Kita dapat melihat firman Allah Ta’ala dalam QS. An-Nur ayat 62 berikut.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَىٰ أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّىٰ يَسْتَأْذِنُوهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya:
وهذا أيضًا أدب أرشد الله عبادَه المؤمنين إليه، فكما أمرهم بالاستئذان عند الدخول، كذلك أمرهم بالاستئذان عند الانصراف -لا سيما إذا كانوا في أمر جامع مع الرسول، صلوات الله وسلامه عليه، من صلاة جمعة أو عيد أو جماعة، أو اجتماع لمشورة ونحو ذلك -أمرهم الله تعالى ألا ينصرفوا عنه والحالة هذه إلا بعد استئذانه ومشاورته. وإن من يفعل ذلك فهو من المؤمنين الكاملين
.
“Ini juga merupakan pelajaran adab dari Allah kepada hamba-hamba Nya yang beriman, sebagaimana Allah telah memerintahkan mereka untuk meminta izin apabila masuk ke rumah orang lain, demikian pula Dia memerintahkan mereka supaya meminta izin apabila hendak kembali. Terutama bila mereka dalam sebuah pertemuan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti shalat jum’at, ied, jama’ah, pertemuan musyawarah, atau pertemuan-pertemuan lainnya.
Allah memerintahkan mereka agar jangan membubarkan diri dalam urusan bersama tersebut kecuali setelah meminta izin dan berkonsultasi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena barang siapa yang melakukan hal tersebut (meminta izin sebelum pergi), berarti ia termasuk orang-orang yang sempurna keimanannya.”
Sementara itu dalam Tafsir Jalalain disebutkan:
{إنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاَللَّهِ وَرَسُوله وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ} أَيْ الرَّسُول {عَلَى أَمْر جَامِع} كَخُطْبَةِ الْجُمُعَة {لَمْ يَذْهَبُوا} لِعُرُوضِ عُذْر لَهُمْ {حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ إنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَك أُولَئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاَللَّهِ وَرَسُوله فَإِذَا اسْتَأْذَنُوك لِبَعْضِ شَأْنهمْ} أمرهم {فأذن لمن شئت منهم} بالانصراف {واستغفر لهم الله إن الله غفور رحيم}
“Orang-orang mukmin yang sesungguhnya itu tidak lain hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama dengan Rasulullah (dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan) seperti khutbah Jumat (mereka tidak meninggalkan) Rasulullah karena hal-hal mendadak yang dialami mereka, (sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu, mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan mereka) maksudnya urusan mereka yang lain, (berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka) untuk pergi (dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).”
Dari kedua pejelasan dalam tafsir tersebut dapat kita perhatikan bahwa perizinan adalah termasuk syariat islam. Bagaimana para sahabat diperintahkan oleh Allah untuk meminta izin kepada Rasulullah jika hendak meninggalkan suatu urusan bersama Rasul, bahkan orang yang menjalankan syariat perizinan ini termasuk orang yang sempurna keimanannya. Para sahabat dalam hal ini tidak diperkenankan untuk meninggalkan urusan bersama Rasulullah kecuali setelah beliau izinkan, kecuali urusan yang memang sangat mendadak dan mendesak.
Seriusnya komitmen terhadap masalah meminta izin meninggalkan pertemuan dalam urusan bersama ini ditunjukkan oleh firman Allah dalam ayat tersebut yang berbunyi:
فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ
“Berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah.”
Rasulullah diperintahkan oleh Allah untuk memohonkan ampunan terhadap orang-orang yang meninggalkan urusan bersama Rasulullah, sekalipun sahabat tersebut telah menyampaikan permohonan izin dan mendapatkan izin dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika yang sudah menyampaikan permohonan izin dan diizinkan saja demikian, apalagi orang-orang yang meninggalkan urusan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa melalui izin?
Hal ini sama dengan kehidupan berorganisasi, berkepanitiaan, ataupun urusan bersama lainnya, bahwa izin untuk meninggalkan rapat atau urusan bersama bukanlah hal sepele dan perlu perhatian serius dari seluruh anggota yang terlibat. Karena hal tersebut termasuk indikator sempurnanya iman seseorang. Dari hal yang kelihatannya sepele ini kita dapat bertemu dan berkoordinasi secara maksimal dalam suatu urusan bersama dengan sekaligus menjalankan syariat islam yang mulia.
Wallahu ‘alam
Penulis: Yarabisa Yanuar
Artikel: Muslim.or.id
__________________________________________________________________________
Referensi:
Tafsir Ibnu Katsir Juz 18 Surat An-Nur: 62
Tafsir Jalalain Juz 18 Surat An-Nur: 62
Penulis: Yarabisa Yanuar
Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta
Jama’ah Shalahuddin UGM
Dalam organisasi atau kepanitiaan, biasanya akan dilaksanakan rapat-rapat baik rutin maupun tidak. Di dalam rapat tersebut akan dibahas hal-hal yang perlu dikerjakan atau masalah-masalah yang perlu diselesaikan bersama. Rapat tersebut biasanya juga dipimpin oleh pimpinan organisasi, kepala bidang, ketua panitia, maupun koordinator suatu urusan bersama. Dan tidak jarang anggota dari organisasi atau kepanitiaan tersebut juga memiliki urusan lain di tempat yang lain, dikarenakan zaman sekarang ini yang memang sangat dinamis dan banyak sekali kesempatan untuk berkegiatan maupun berurusan dalam segala hal. Untuk menjalankan berbagai urusan, amanah, atau tugas, seseorang sangat perlu untuk membagi waktu dan prioritas, namun tidak jarang kita temui seseorang dengan banyaknya urusan, menyebabkan urusan lain bersama orang lain menjadi terbengkalai. Bagaimana Islam dalam memandang pekerjaan manusia dalam suatu urusan bersama ini?
Kita dapat melihat firman Allah Ta’ala dalam QS. An-Nur ayat 62 berikut.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَىٰ أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّىٰ يَسْتَأْذِنُوهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya:
وهذا أيضًا أدب أرشد الله عبادَه المؤمنين إليه، فكما أمرهم بالاستئذان عند الدخول، كذلك أمرهم بالاستئذان عند الانصراف -لا سيما إذا كانوا في أمر جامع مع الرسول، صلوات الله وسلامه عليه، من صلاة جمعة أو عيد أو جماعة، أو اجتماع لمشورة ونحو ذلك -أمرهم الله تعالى ألا ينصرفوا عنه والحالة هذه إلا بعد استئذانه ومشاورته. وإن من يفعل ذلك فهو من المؤمنين الكاملين
.
“Ini juga merupakan pelajaran adab dari Allah kepada hamba-hamba Nya yang beriman, sebagaimana Allah telah memerintahkan mereka untuk meminta izin apabila masuk ke rumah orang lain, demikian pula Dia memerintahkan mereka supaya meminta izin apabila hendak kembali. Terutama bila mereka dalam sebuah pertemuan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti shalat jum’at, ied, jama’ah, pertemuan musyawarah, atau pertemuan-pertemuan lainnya.
Allah memerintahkan mereka agar jangan membubarkan diri dalam urusan bersama tersebut kecuali setelah meminta izin dan berkonsultasi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena barang siapa yang melakukan hal tersebut (meminta izin sebelum pergi), berarti ia termasuk orang-orang yang sempurna keimanannya.”
Sementara itu dalam Tafsir Jalalain disebutkan:
{إنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاَللَّهِ وَرَسُوله وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ} أَيْ الرَّسُول {عَلَى أَمْر جَامِع} كَخُطْبَةِ الْجُمُعَة {لَمْ يَذْهَبُوا} لِعُرُوضِ عُذْر لَهُمْ {حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ إنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَك أُولَئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاَللَّهِ وَرَسُوله فَإِذَا اسْتَأْذَنُوك لِبَعْضِ شَأْنهمْ} أمرهم {فأذن لمن شئت منهم} بالانصراف {واستغفر لهم الله إن الله غفور رحيم}
“Orang-orang mukmin yang sesungguhnya itu tidak lain hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama dengan Rasulullah (dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan) seperti khutbah Jumat (mereka tidak meninggalkan) Rasulullah karena hal-hal mendadak yang dialami mereka, (sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu, mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan mereka) maksudnya urusan mereka yang lain, (berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka) untuk pergi (dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).”
Dari kedua pejelasan dalam tafsir tersebut dapat kita perhatikan bahwa perizinan adalah termasuk syariat islam. Bagaimana para sahabat diperintahkan oleh Allah untuk meminta izin kepada Rasulullah jika hendak meninggalkan suatu urusan bersama Rasul, bahkan orang yang menjalankan syariat perizinan ini termasuk orang yang sempurna keimanannya. Para sahabat dalam hal ini tidak diperkenankan untuk meninggalkan urusan bersama Rasulullah kecuali setelah beliau izinkan, kecuali urusan yang memang sangat mendadak dan mendesak.
Seriusnya komitmen terhadap masalah meminta izin meninggalkan pertemuan dalam urusan bersama ini ditunjukkan oleh firman Allah dalam ayat tersebut yang berbunyi:
فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ
“Berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah.”
Rasulullah diperintahkan oleh Allah untuk memohonkan ampunan terhadap orang-orang yang meninggalkan urusan bersama Rasulullah, sekalipun sahabat tersebut telah menyampaikan permohonan izin dan mendapatkan izin dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika yang sudah menyampaikan permohonan izin dan diizinkan saja demikian, apalagi orang-orang yang meninggalkan urusan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa melalui izin?
Hal ini sama dengan kehidupan berorganisasi, berkepanitiaan, ataupun urusan bersama lainnya, bahwa izin untuk meninggalkan rapat atau urusan bersama bukanlah hal sepele dan perlu perhatian serius dari seluruh anggota yang terlibat. Karena hal tersebut termasuk indikator sempurnanya iman seseorang. Dari hal yang kelihatannya sepele ini kita dapat bertemu dan berkoordinasi secara maksimal dalam suatu urusan bersama dengan sekaligus menjalankan syariat islam yang mulia.
Wallahu ‘alam
Penulis: Yarabisa Yanuar
Artikel: Muslim.or.id
__________________________________________________________________________
Referensi:
Tafsir Ibnu Katsir Juz 18 Surat An-Nur: 62
Tafsir Jalalain Juz 18 Surat An-Nur: 62
Penulis: Yarabisa Yanuar
Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta
Jama’ah Shalahuddin UGM
Post a Comment for "IZIN DALAM SUATU URUSAN BERSAMA, SEPELEKAH?"