MENGEJAR KABUT PAGI
Hari Rabu adalah hari dimana aku harus mengajar disekolah yang letaknya agak jauh dari tempat tinggalku.Waktu tempuh 20 sampai 30 menit biasanya. Rabu pekan ketiga september tahun ini tampak spesial. Spesial karena seluruh sisi disepanjang perjalananku dari rumah kesekolah dipenuhi awan putih yang menempel dipermukaan bumi.
Tanpa ada kabut pagi, aku sangat menyukai pagi hari. Bagian hari yang aku paling bisa menikmati adalah pagi hari. Banyak inspirasi yang datang menghampiri, udaranya masih fresh dan nikmat sekali ketika dihirup dalam-dalam.
Setiap paginya, aku berlomba dengan makhluk Allah bernama matahari. Matahari yang super duper disiplin waktu terbit dan tenggelamnya sangat cocok jadi acuan untuk berbuat yang demikian. "Ayolah Deb, bergegaslah, jangan sampai keduluan matahari" - nasihat penyemangat diri sendiri saat pagi kutemui malas menghantui.
Lebih-lebih pagi itu, selepas subuh aku membuka jendela kamarku, ada pemandangan yang tidak biasa. Aku kira sedang dialam mimpi, berada di atas awan putih dan dikelilingi para bidadari :D Premis pertama benar, tapi premis kedua salah besar alias menghayal. Wk.
Benar bahwa aku sedang dikelilingi awan bernama kabut. National Geographic menyebutkan bahwa kabut adalah awan yang menyentuh tanah, yang jaraknya lebih dekat kebumi daripada awan yang lebih tinggi. Kabut, biasanya terjadi ketika usai hujan menghampiri. Dia muncul ketika uap air mengalami proses pencairan atau pengembunan. Nah selama proses kondensasi inilah, molekul air bergabung untuk membiat tetesan air kecil diudara.
Aku tidak mau ketinggalan fenomena langka ini, segera kubergegas dan bersiap berangkat kesekolah.
Kabut pagi itu tergolong tebal, jarak pandangku terbatas antara 15 sampai 20 meter. Sepeda motoku tampak kedinginan sehingga dia enggan melaju dengan lebih kencang.
Helm sengaja kubiarkan terbuka, karena kalau ditutup, dipastikan 5 menit sekali harus mengusap kaca helm yang dipenuhi embun si kabut pagi itu. Akibatnya, kabut-kabut itu tanpa permisi membasahi jidatku dan seluruh bagian wajahku yang tidak bermasker. Dibagian alis dan bulu mata terasa nyes, molekul-molekul kecil air tadi sepertinya nampak senang mendarat dibagian itu.
Seru sekali pagi itu, aku mengejar sesuatu yang tidak akan pernah gugapai dengan pasti. Si kabut pagi yang ketika sudah kuhampiri dia nampak malu-malu dan hilang seketika. Dia nampak dengan berjarak. Tak mau didekati, selalu pergi dan pergi (kayak dia :D).
Tapi aku benar-benar menikmati, sepanjang jalan masih sepi, pelepah sawit dengan ramahnya melambai-lambai dikanan dan kiri. Batu-batu kerikil dijalanan tak mau ketinggalan. Muncul mengabsenkan diri yang mengakibatkan perutku agak sengkil.
Sampai disekolah, sudah bukan pagi lagi. Matahari sudah naik membentuk sudut 35⁰ dari titik awalnya. Hanya ada pakde disana yang kutemui, belum ada orang lainnya. Aku merasa menolak kalo dikatakan "Pak Debi, sampean berangkatnya kepagian". Kalau aku sepakat dengan statment itu, besoknya aku berangkat siangan, dan nanti bisa-bisa kebablasan.
Lapangan sekolahku yang bongkor sebab pandemi yang tak menghalalkan aktifitas outdor, tampak begitu berbeda pagi itu. Kembang suket (bunga rumput) yang tingginya seukuran pahaku nampak kompak memutih. Warna putih itu ternyata terbentuk dari kumpulan embun pagi yang menempel dikembang-kembang itu, sebab terlampau banyaknya molekul air kecil yang terjatuh lalu menempel itu jadi terlihat putih.
Dari kabut pagi aku belajar:
Untuk bersyukur disetiap titik pencapaian. Tersebab fitrah manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya, kadang bahkan sering ia lupa kalau posisinya hari ini adalah posisi yang diimpikan 5 atau 10 tahun kebelakang.
Untuk biasa saja dalam mengejar urusan dan kenikmatan-kenikmatan dunia. Kenikmatan itu seperti embun pagi, semakin didekati maka semakin menjauhi. Visualisasi fatamorgana ada disini.
Terimakasih kabut pagi, sudah menemaku bercerita pagi ini. Aku pasti merindukanmu dihari-hari selanjutnya.
Mesuji Timur, 18 September 2020
Post a Comment for "MENGEJAR KABUT PAGI"