POTRET KEBAHAGIAAN DI DESA PENEMPATAN
DUKA SEDALAM CINTA
Dulu, hampir saja aku
tidak di ijinkan untuk pergi jauh merantau entah dimana ditempatkan. Mengabdikan
diri kata orang-orang. Tanpa ku sengaja, aku meletakkan buku antologi kisah
pengajar muda dengan cover warna hijau di meja ruang tamu. Bapakku membacanya
dan ia bilang terharu membaca kisah-kisah dari pengajar muda dan menjadi mantap
hatinya untuk memberikan ijin anaknya melakukan hal yang sama dengan apa yang
sudah tertuang dalam cerita dalam buku itu bahkan lebih.
Lalu, dengan ibuku bagaimana?, mungkin aku yang terlalu keras kepala, memaksakan kehendak sedari dulu. Aku meminta restu untuk mengikuti seleksi tahap kedua. Kataku, “Ah, mak belum tentu lolos sampai tahap akhir juga” dengan senyum yang masih terekam jelas diotakku ibu memberikan ijin untuk melanjutkan proses seleksi. hingga aku dinyatakan lolos sebagai pengajar muda. Ibu dan bapak mengucapkan banyak kalimat penguatan yang semakin memantapkan aku untuk berangkat mencari makna kehidupan yang lebih mendalam.
Pelukan terakhir masih
begitu hangat kurasakan, mata haru dan lambaian tangan tulusnya masih jelas
diingatan, ya sampai ditengah perjalanan dimasa penugasan aku harus mendapatkan
kabar yang sangat tidak aku harapkan, kabar bahwa ibuku telah tiada, dipanggil
oleh Allah meninggalkan kami semua. Jangankan pelukan hangat, lambaian tangan
dan senyuman. Aku pulang hanya tinggal bersimpuh di nisan, bahkan untuk melihat
jasadnya saja aku tidak berkesempatan.
Menyesal, sedih,
kecewa, marah dengan diri sendiri sudah tentu kurasakan. Aku sebagai anak
laki-laki satu-satunya tidak bisa andil memberikan perawatan terbaik dan
mentalqinkan diakhir hayatnya, apalagi sampai mensholatkan dan mengumandangkan
adzan diliang kuburnya. Hal-hal demikian tentu tidak mungkin dan tidak akan
kulupakan. Namun, aku punya dua pilihan. Pertama, aku berlarut dalam kesedihan
atau kedua, bangkit dan memberikan banyak kebermanfaatan.
Di desa penempatan,
Allah mempertemukan aku dengan orang-orang yang begitu teramat sangat
menyayangiku. Mereka adalah keluarga Papa Ken. Keluarga yang penuh kasih sayang
dan punya cara tersendiri untuk menjaga dan menyayangiku. Entah sudah berapa kali
tumpah ruah air mata ini jatuh dipelukan mereka. Dipelukan ina, dipelukan papa
ken, dipelukan mama ken, dan dipelukan ken adikku satu-satunya di desa
penempatan.
Tangisan pertama saat
hari kemenangan, hari idul fitri. Aku bersimpuh sambil air mata bercucuran, selain
merindukan sanak saudara ditanah kelahiran, mengingat aku yang hanya bisa
selalu merepotkan dikeluarga ini, belum bisa sekalipun meringankan beban
apalagi membanggakan. Mengingat semua kebaikan kasih sayang yang mereka curahkan.
Sesederhana pertanyaan papa ken di meja makan siang “gimana sekolah hari ini?”,
sepeduli mama ken menengok dikamar dan mengingatkan untuk memasang kelambu saat
mata ini sudah ingin terlelap, sesering Ina mengatakan “buat air hangat” dipagi
hari dan “Leundo Mongga” (Ayo makan) disiang hari, juga sekeren ken
yang pengertiannya tidak perlu diwujudkan dengan perkataan. Ya, Sampai sekarang
di dua pertiga masa penempatan aku masih menjadikannya penasihat saat aku
kebingungan mengambil keputusan.
Aku sangat bersyukur
tinggal, hidup, dan bertumbuh ditengah-tengah mereka. Mereka yang sudi dan
ikhlas menjadi orang tua Pengajar Muda selama lima tahun penempatan berturut-turut
dan berganti orang secara cuma-cuma. Dari rumah berkamar lima bentuk memanjang
ini aku belajar banyak hal, diantaranya tentang kekeluargaan, keihlasan,
ketulusan, kasih sayang, ketegasan, kesederhanaan, kegigihan, dan juga keagamaan.
Semuanya baik, semuanya bernilai mahal yang tak terbayarkan.
Beberapa kali aku
sempat berkata dengan percaya diri kepada papa ken kalau aku merasa sehat terus
saat berada di desa penempatan, bisa jadi karena di desa sumber makanannya
masih alami dipetik langsung dari perkebunan, dan bisa jadi juga disini
intensitas bermain media sosial sangat minim sehingga menyehatkan mental. Mau makan
buah ada, minum air kelapa segar ada, mau makan ikan tinggal mancing diempang,
mandi langsung dari air pegunungan, Ah, nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu
dustakan?.
Masyarakat desa
Wowalatoma juga hangat dan pengertian. Sudi dan sabar menjawab semua
pertanyaan-pertanyaan polosku jika kupertanyakan. Teman-teman pemuda juga
mengasyikkan. Apalagi anak-anak sekolahnya. Hmmm jangan ditanya, tentu sangat
menguji kesabaran. Tapi tidak apa, namanya juga anak-anak, sepanjang aku bisa
belajar dari mereka dan mereka belajar dariku, lanjutkan.
Lagi-lagi aku
bersyukur kepada Allah yang telah menggariskan hidupku penuh akan pembelajaran.
Meskipun dibeberapa bagian belum bahkan tidak aku harapkan. Kita boleh sedih
dan menyesal mengingat masa lalu, tapi kita tidak boleh lupa bahwa kita
memiliki masa mendatang yang bisa dipersiapkan dimasa sekarang dengan
sungguh-sungguh.
Terimakasih Mamak, Bapak, Mbak, dan semua keluarga besar,
Terimakasih Ina, Papa Ken, Mama Ken, Ken dan keluarga besar,
Terimakasih Bapak Sakri, Ibu Ruli, Laila, beserta keluarga besar,
Terimakasih Putra, Kang Siddiq, Mbak Rol, Rista, Elis, Iik, dan keluarga besar Indonesia Mengajar,
Terimakasih saudara kandung dakwah dimanapun kalian berada,
Terimakasih SDN Latoma Utma, Desa Wowalatoma dan seisinya,
Terimakasih teman-teman penggerak pendidikan,
Terimakasih Konawe dan seisinya,
Terimakasih untuk segala kebaikan, pembelajaran dan semua hal yang telah terkorbankan membantuku untuk terus bertumbuh menuju pendewasaan. Mari bergandeng tangan melakukan kebaikan.
Post a Comment for "POTRET KEBAHAGIAAN DI DESA PENEMPATAN"