Perjalanan Pendidikan Wanda Bagian 9: Jogja Tidak Hanya Istimewa, Tetapi Juga Mempesona
Kata istimewa dan mempesona aku awali ketika sampai di tempat tinggal baruku yaitu di kosan Ibu Asih. Tempatnya nyaman, asri, banyak tanaman bunganya, bersih, dan tentu saja Ibunya baik banget. Sering memberikan wejangan-wejangan hidup untuk diriku, sopan banget, bahkan kalau komunikasi denganku pakai bahasa jawa halus. Itu yang sejauh ini membuat aku nyaman dan serasa di rumah sendiri. Semoga nanti bisa berkunjung kesana kembali :)
Di sisi lain, Aku tidak hanya belajar di dalam ruang kuliah, tetapi juga di luar. Ada hari tertentu dan jam tertentu di malam hari untuk sendiri yang aku gunakan “nyepi”. Tempat pertama yang paling berkesan diantara tempat-tempat yang lain untuk digunakan dalam hal nyepi adalah Malioboro. Kalau kata Mbah Nun, “mencari keheningan itu di dalam keramaian”. Kata-kata itu cukup dalam maknanya jika direnungi. Kenapa tempat ini sangat berkesan dan yang ku suka di Malioboro?, karena sepanjang Jalan Malioboro merupakan penghubung ke Jalan Margo Mulyo untuk sampai di titik nol kilometer Yogjakarta. Titik nol kilometer Yogyakarta berada di persimpangan yang mempertemukan empat ruas jalan, yaitu Jalan KH. Ahmad Dahlan dari sisi barat, Jalan Margo Mulyo dari sisi utara, Jalan Panembahan Senopati dari sisi timur, dan Jalan Pangurakan dari sisi selatan. Lokasi ini bukanlah persimpangan biasa, sebab persimpangan ini merupakan titik tengah atau sentral Kota Yogyakarta. Selain itu, lokasinya berada di depan Keraton Yogyakarta yang merupakan pendiri daerah istimewa ini. Titik nol kilometer juga berada di pusat sumbu imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan laut selatan.
Malioboro, dengan keramaian dan kesemarakannya, memberikanku ruang untuk merenung tentang dinamika kehidupan dan perjalanan pribadi. Saat Aku menyusuri jalan ini yang dihiasi oleh warung kaki lima, pedagang khas, dan beragam aktivitas, Aku merasa seakan-akan mengikuti aliran kehidupan yang terus bergerak maju. Kehidupan di Malioboro mengajarkanku tentang adaptasi, fleksibilitas, dan semangat bertahan dalam setiap situasi. Di tengah hiruk-pikuk kota, Aku menemukan keindahan dalam sederhana, dan keberagaman dalam setiap sudutnya memberikan perspektif bahwa kehidupan ini adalah perjalanan yang harus dinikmati tanpa terlalu banyak beban.
Renungan itu tidak berhenti di Malioboro, namun juga berlanjut di Nol Kilometer. Tampat ini sebagai pusat kota Yogyakarta yang melambangkan titik nol dari berbagai arah, memberikan refleksi lebih dalam tentang perjalanan diriku. Berdiri di titik tersebut, Aku merasa sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar, sebuah jalinan kisah yang terhubung dengan sejarah dan masa depan. Nol Kilometer mengajarkanku bahwa setiap langkah yang diambil, meskipun kecil, memiliki dampak dan arti tersendiri dalam perjalanan hidup. Pada titik ini, Aku menyadari betapa pentingnya memiliki arah dan tujuan dalam hidup, sekaligus beradaptasi dengan perubahan yang tak terelakkan. Hasil renungan di Nol Kilometer itu, Aku menemukan inspirasi untuk terus maju, menghargai setiap detik perjalanan, dan menilai setiap pengalaman sebagai bagian integral dari perjalanan hidup yang unik. Lanjut baca Bagian 10: Toga Master dan Ungkapan Terimakasih.
Baca juga bagian lainnya: Pengantar | Bagian 1: Mimpi Lanjut Studi S2 | Bagian 2: Perempuan Berjiwa Malaikat | Bagian 3: Jogja, I’m coming | Bagian 4: UNY Kampus Pendidikan Terbaik | Bagian 5: Hutang Karaokean yang Belum Terbayarkan | Bagian 6: Full Lampung – Jogja di dalam Bagasi | Bagian 7: Manusia over dosis, Terlampau Baik! | Bagian 8: Pelajaran Berharga dari Mas Pras | Bagian 9: Jogja Tidak Hanya Istimewa, Tetapi Juga Mempesona | Bagian 10: Toga Master dan Ungkapan Terimakasih
Post a Comment for "Perjalanan Pendidikan Wanda Bagian 9: Jogja Tidak Hanya Istimewa, Tetapi Juga Mempesona"